PROLOG
Di olah dari berbagai sumber oleh didie---Sirajuddin (memasarkan isi aj pak)
Pertanyaan yang sering muncul adalah apakah tunjangan sertifikasi, profesi, dan lainya yang menyangkut dirjen PMPTK masih akan jalan terus, dan bagaimana pengelolaan NUPTK di Kabupaten Banyuasin menjadi tanggungjawab siapa! Simak hasil olahan dari berbagai tulisan yang saya ramkum di bawah ini
Tidak lama setelah masuknya Prof. Dr. M. Nuh sebagai orang nomer satu di Kementerian Pendidikan Nasional, berkembang aspirasi untuk melebur Ditjen PMPTK (Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan) yang baru berumur 5 tahun ke dalam direktorat jenderal persekolahan. Tidak sedikit pihak yang telah menduga dan bahkan menginisiasi serta mendukungnya. Namun bagi banyak kalangan hal ini tentu saja mengejutkan dan menimbulkan tanda tanya. Tulisan ini akan mengulas esensi usulan tersebut dari berbagai sudut pandang dengan harapan dapat mendudukkan permasalahannya pada posisi yang sesuai dengan hakekat tantangan pembinaan guru sebagai profesi yang memainkan peran sentral dalam pembangunan sistem pendidikan nasional di negeri tercinta ini.
GAGASAN AWAL
Gagasan peleburan awalnya berangkat dari aspirasi untuk membelah Ditjen Mandikdasmen menjadi 2 (dua) Direktorat Jenderal, Ditjen Pendidikan Dasar dan Ditjen Pendidikan Menengah. Secara substansial gagasan ini dapat diterima. Justru diharapkan dengan adanya pemisahan tersebut akan diperoleh manfaat berupa peningkatan efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan kedua jenjang pendidikan. Di satu pihak Ditjen Manajemen Pendidikan Dasar dapat memfokuskan diri dalam meningkatkan penyelenggaraan Wajar Dikdas (Wajib Belajar Pendidikan Dassar) 9 tahun. Di pihak lain Ditjen Manajamen Pendidikan Menengah akan memiliki kesempatan yang lebih terbuka dan terfasilitasi secara malsimal dalam mengantarkan anak bangsa baik yang akan menjadi ilmiawan dengan memilih jalur pendidikan akademik bagi yang siap, dan menjadi pekerja terampil dan siap pakai bagi yang memilih jalur pendidikan vokasional.
Namun, sayangnya gagasan tersebut dikembangkan dan diperjuangkan dengan mengusulkan penutupan Ditjen PMPTK yang utamanya dilatarbelakangi oleh 3 (tiga) penyebab.
Pertama, sesuai dengan SOTK (Sistem Organisasi dan Tata Kelola) yang diterbitkan oleh Kementerian Negara PAN (Pemberdayaan Aparatur Negara), setiap kementerian (dahulu departemen) dibatasi untuk memiliki tidak lebih dari 5 (lima) unit utama setingkat Eselon 1. Dengan pertimbangan tersebut, penggagas pembelahan Ditjen Mandikdasmen mencari jalan pintas yaitu mengajukan solusi berupa penutupan Ditjen PMPTK agar jumlah unit utama di Kementerian pendidikan Nasional tetap 5 unit sesuai ketentuan.
Kedua, para penggagas mengajukan argument bahwa tenaga kependidikan termasuk guru merupakan satu kesatuan dalam paket manajemen sekolah. Oleh sebab itu, pemisahan pengelolaan guru dan tenaga kependidikan lainnya dari pengelolaan sekolah menjadikan pembinaan sekolah kehilangan roh. Akibatnya, pembukaan sekolah tidak serta merta disertai dengan pengadaan guru dan tenaga kependidikan lainnya secara sinergis.
Ketiga, untuk menjamin kualitas penyelenggaraan pendidikan nasional, pemerintah telah menetapkan 8 (delapan) standar nasional pendidikan dengan satu diantaranya adalah standar tenaga kependidikan. Para penggagas berargumen, bahwa dengan hanya menangani satu dari delapan standar, adalah kurang efisien mempertahankan berdirinya Ditjen PMPTK dibandingkan dengan menggabungkan pengelolaan guru ke dalam ditjen yang menangani persekolahan.
GAGASAN PELEBURAN DITJEN PMPTK: Prematur dan dangkal
Mencermati 3 (tiga) diantara sekian alasan yang diajukan, dapat dinyatakan dengan tegas bahwa usulan pembubaran Ditjen PMPTK terkesan premature, tergesa-gesa, dangkal dan dipaksakan. Bagaimanapun argumen tersebut lebih didasarkan pada 2 (dua) pandangan.
Pertama, anggapan bahwa kinerja Ditjen PMPTK masih rendah sehingga tidak diperlukan keberadaanya dan dapat digantikan dengan unit setingkat eselon 2 pada ditjen persekolahan. Bagaimanapun, banyak bukti empirik bahwa rendahnya kinerja sebuah unit kerja lebih diakibatkan kegagalan membangun koordinasi antar unit di dalam tubuh Kemendiknas sendiri. Jadi bukan kesalahan struktur dan penetapan tugas pokok dan fungsinya. Dengan demikian peleburan bukan merupakan solusi masalah manajemen yang tepat.
Kedua, menyederhanakan peran guru dalam proses pendidikan yang dianggap setara dengan komponen pendidikan lainnya adalah pandangan yang dangkal. Argument yang dibangun hanya didasarkan pada kalkulasi kuantitatif di mana Ditjen PMPTK yang hanya menangani 1 dari 8 standar dinilaikontraproduktif sehingga diusulkanlah pembubabarannya. Bagaimanpun, peran sub-sistem dalam sebuah sistem secara keseluruhan tidak bisa diukur dan dinilai secara kuantitatif seperti itu. Begitu juga dengan peran dan kedudukan guru dalam proses pendidikan. Sebagimana dibuktikan oleh sejarah panjang pendidikan manusia di muka bumi, bahwa pendidikan dapat tetap berjalan dengan optimal jika ada guru sekalipun kurang didukung oleh sarana parasarana, biaya, dan kurikulum. Sebaliknya, jika di kelas tidak hadir seorang guru yang profesional dalam arti kompeten dan berdedikasi prima, kurikulum yang baik dan sarana lengkap serta biaya yang cukup akan menjadi mubajir dan tidak akan menghasilkan tamatan yang berkualitas.
EKSISTENSI DITJEN PMPTK: Tidak sekedar administrasi kepegawaian
Sebagaimana diketahui, pada tahun 2004, ketika memperingati hari guru, Presiden SBY mencanangkan guru sebagai profesi. Pencanangan ini merupakan tonggak sejarah diawalinya upaya nyata dalam menjadikan guru sebagai sebuah masyarakat yang profesional, bermartabat, sejahtera dan terlindungi. Untuk mengawal upaya menuju cita-cita tersebut merupakan alasan utama pemerintah mendirikan Ditjen PMPTK 5 tahun yang lalu. Pemerintah menyadari bahwa untuk mengubah paradigma yang memandang guru sebagai pekerja pendidikan menjadi profesi membutuhkan berbagai program yang kompleks sehingga diperlukan sebuah unit setara eselon 1 sebagai wadahnya. Setidaknya ada 2 (dua) alasan kuat untuk itu.
Pertama, masalah guru bukan sebatas pada urusan administrasi ketenagaan tetapi lebih dari itu mencakup pembinaan sikap profesinal dan peran sentralnya dalam proses pendidikan. Sekaitan dengan ini, kecuali bagi yang tidak memahami tentang proses belajar dan pembelajaran, semua pakar dan pemangku kepentingan sistem pendidikan sepakat bahwa guru merupakan ujung tombak sistem pendidikan karena guru yang menjadi produser, penulis skenario, sutradara dan bersama siswa sekaligus menjadi pemeran dalam proses belajar dan pembelajaran di kelas. Di kelas tidak ada Mendiknas, tidak ada filsuf dan guru besar pendidikan, tidak ada raja atau presiden atau pejabat eksekutif lainnya dan tidak ada pula orang tua siswa. Sejatinya bahwa “Guru lah yang menghidupkan kurikulum dan Guru lah Kurikulum yang hidup.” Oleh sebab itu, eksistensi Ditjen PMPTK tidak sekedar untuk menangani administrasi personalia guru dan tenaga kependidikan lainnya yang dapat dikelola oleh sebuah unit setingkat eselon 2 sekalipun.
Kedua, belum maksimalnya peran asosiasi profesi guru dalam pembinaan profesionalisme anggotanya. Harus diakui, sejarah telah membuktikan bahwa PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia) sebagai organisasi guru terbesar dan tertua di negeri ini dalam taraf tertentu telah mampu mewadahi berbagai aspirasi dan menjadi inisiator sekaligus eksekutor upaya meningkatkan kesejahteraan, penghargaan, dan perlindungan bagi anggotanya. Namun, dalam konteks profesionalisme, PGRI belum secara maksimal terlibat.
Sekaitan dengan itu, model pembinaan profesi yang telah mapan seperti masyarakat dokter harus menjadi rujukan ketika membangun profesi guru. Dalam masyarakat profesi dokter, asosiasi profesi melalui kolegium secara intensif berperan proaktif dalam pembinaan profesionalisme calon dokter dan dokter guna menjamin diberikannya layanan medik yang berkualitas bagi masyarakat. Karena berbagai kendala hal itu belum dapat diperankan oleh asosiasi profesi guru. Sebagai contoh, sertifikasi profesi guru masih dilakukan oleh perguruan tinggi yang seyogyanya dilakukan oleh asosiasi profesi sebagaimana dilakukan dalam masyarakat kedokteran. Begitu juga dalam mengembangkan peningkatan profesionalisme berkelanjutan (CPD atau Continuous Professional Development) yang menjadi keharusan dalam pembinaan profesi, asosiasi guru belum menjadi tuan di rumahnya sendiri sebagaimana asosiasi dokter, pengacara, akuntan dan lain sebagainya. Oleh sebab itu, sambil menunggu asosiasi profesi guru mampu memainkan peran dimaksud, sebagian besar inisiasi dan penyelenggaraan pembinaan dan pengelolaan pelaksanaan tugas profesi guru hingga kini masih memerlukan campur tangan instansi struktural yaitu Kementerian Pendidikan Nasional melalui Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PMPTK).
Dari uraian di atas dapat dinyatakan bahwa eksistensi Ditjen PMPTK tidak sekedar untuk menangani administrasi personalia guru dan tenaga kependidikan lainnya. Tetapi, lebih dari itu memfasilitasi masyarakat guru membangun profesionalisme anggotanya setara dengan profesi lain yang telah mapan dan memiliki kebanggaan profesi. Melihat hakekat tantangannya, masih diperlukan waktu untuk membenahi dunia profesi guru secara komprehensif.
DAMPAK PELEBURAN
Setidaknya ada 3 (tiga) dampak negatif yang paling signifikan nantinya jika Ditjen PMPTk dilebur menjadi salah satu unit di masing-masing Ditjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Ditjen Manajemen Pendidikan Menengah.
Pertama, menurunnya jenjang eselon unit yang mengelola permasalahan profesi guru. Seperti sebelum berdirinya Ditjen PMPTK, unit pembina guru pada jenjang eselon 2 memiliki “bargaining power” yang kurang kuat dalam mengusulkan kebijakan baik ke dalam maupun keluar struktur Meneg Diknas seperti; Kemeneg PAN, PGRI,dan BKN. Kedua, pembinaan guru sebagai profesi akan beralih kembali ke pengelolaan guru yang didominasi oleh nuansa adminsitrasi kepegawaian. Padahal, masih banyak tugas masalah pembangunan profesi guru yang tidak hanya bersifat sitematis tetapi sistemik. Ketiga, dengan pengelolaan dan pembinaan guru diselenggarakan oleh sejumlah unit yang terpisah, akan timbul hambatan koordinasi sehingga memungkinkan adanya sejumlah usulan kebijakan berbeda yang justru kontraproduktif bagi pembinaan guru sebagai profesi yang kini sudah mengarah pada “track” yang benar.
EPILOG
Usulan untuk membelah Ditjen Mandikdasmen menjadi Ditjen Pendidikan Dasar dan Ditjen Pendidikan Menengah tetap diteruskan karena memang menjanjikan konstribusi yang positif terhadap pengelolaan sistem pendidikan dasar dan menengah. Namun, usulan tersebut tidak boleh diajukan dengan menerapkan teori peluang yaitu disertai dengan gagasan peleburan Ditjen PMPTK yang memegang peran strategis dalam upaya meningkatkan kualitas sistem pendidikan nasional secara utuh dan menyeluruh. Oleh sebab itu, jalan tengah yang justru sinergis adalah memadukan usulan pembelahan Ditjen Mandikdasmen sekaligus reformasi Ditjen PMPTK dalam satu paket usulan kebijakan. Jika usulan tersebut diterima, akan diperoleh manfaat lebih signifikan yaitu efektivitas penyelenggaraan sekolah yang ditunjang oleh keberhasilan pembinaan profesionalisme guru sekaligus. Dengan alasan yang kuat dan rasional serta dilandasi oleh azas manfaat, masih dimungkinkan adanya dispensasi untuk memiliki unit utama setingkat eselon satu dalam jumlah yang melebihi ketentuan Kemeneg PAN. Mengapa tidak gagasan akomodatif dan produktif seperti itu yang diupayakan sehingga kita dalam membangun Guru sebagai Insan Profesi yang Profesional tidak berjalan mundur.
Langkah Mundur Dalam Membangun Guru Sebagai Profesi
Diposting oleh
putra-bungsu