Pada suatu hari minggu bersiap-siap pergi untuk berfoto ukuran fas foto, ke Studio Raja (yang terkenal dipalembang gitu)depan POM besin samping RAMAYANA..hehehe.
Setelah selesai potret-memotret turun deh kelantai bawah, tawar-menawar harga eh klo langsung jadi sehari ternyata lumayan mahal jadi gwe ama cewek gue,,hehe pilih yang murah deh, gk lumayan lamo cuman 3 hari....Lumayan banyak makan waktu, ternyata si perut agak berontak mau makan di K*C nian, wajar deh sedekatan dengan Ramayan...Akhirnya kami masuk ke Ramayana untuk memesan paket Double(Sepasang gitu)
yang memesannya ya saya suruh cewek geu,,kan dio udah biasa mesan makanan gituan, sedangkan saya memilih tempat yang romantis gitu (ya lantai pucuk biar bisa lihat pemandangan dibawahnya)...
Hari berjalan senin dan selasa(sensoor tidak ada kegiatan)tibalah hari rabu tepatnya pukul 03.00 sore bergegas datang ke Studio Raja untuk mengambil foto kami, al hasil foto udah selesai....langsung kami ke kampus unsri bukit untuk mengejarkan persyaratan yang kurang,,,eh ternyata foto ukuran 3 x 4 kurang, lalu mencuci lagi foto di Conika(dekat unsri itulah lumayan bagus sih) sambil menungu foto jadi kami mempersiapkan persyaratan yang lain2nya seperti : 3 buah CD laporan, map plastik 2 buah. Alhamdullilah semuanya udah kelar, lanjut langkah kami ke unsri untuk menyerahkan berkas ke administrasi Sietem Komputer yang akan ditanda tanggani Bapak Sukemi, M.t dan Bapak Dr.Darmawijoyo.....berkasnya kami tinggal kepada staff yang ada diruangan tersebut dengan harapan besok udah kelar dan lanjut proses ke BAAK unsri Indralaya,,tapatnya hampir pukul 05.00 sore kami pulan ke jakabaring (istirahat gitu)....pukul 08.00 malamnya kami dapat kabar dari seorang teman TKJ bahwa berkas yang kami kumpul tadi dikembalikan dengan alasan yang kurang jelas...????
ya cukup membuat kami kecewa...karena blum tau alasan kenapa...ya udah kami pikir besok aja menyelesaikannya,,Tibalah keesokan harinya yaitu hari jum'at (hari terkahir mendaptar wisuda sampai pukul 03.00 sore ditutup)...ternyata persyaratan kami dititipkan kepada seorang teman yang bernama Yeyen(TKJ dari MusiRawas yang selalu baik hati),,,,eh ternyata alasan dikembalikannya berkas kami adalah tidak pake map...terpaksa deh kami lengkapi dengan map dan ada teman lagi yaitu kak Dodi yang juga mau meminta ttd tangan kedua dosen tsb...jadi kami sepakat berbarangan..
sudah lengkap kami naikan ke staff nya lagi, staffnya bilang tunggu bapak Firdaus(Dosen yang menerima berkas untuk di paraf dan dinaikan),,,ternyata pagi sekotar pukul 08.00 pak Firdausnya ada,,eh dio mendadak pergi kerumah sakit, ya terpaksa kami menunggu nya,,jam 9 jam 10 jam 11 tiga jam sudah kami menunggu dengan cemas karena takutnya kami tidak terkejar ke indralayanya..eh ada teman yang satu lagi namanya ASMET(orangnya agak gemuk la, tapi baik loe)dio juga ingin ke indralaya dan dio ngajak barangan aja soalnya dio bawak mobil...kata kami oke deh....
Sekitar pukul 11.15 pak Firdaus datang bergegas kami menghamiri dan menanyakan persyaratan kami,,karena bapak sukemi lama tidak datang bapak Firdaus yang akan menandatangaininya tetapi bapak Firdaus menelpon bapk Sukemi terlebih dahulu,,eh eh tenyata dalam pembicaraannya ditelpon bapak Sukemi akan datang,,,ya kami menunggu lagi deh (lumayan kenyang dengan menunggu terus),, dapat kabar dari bapak Firdaus bahwa bapak Dr.Darmawijoyo berada di Indralaya dan kami disuruhnya janjian aja...(huh pikir kami masih panjang perjalanan)....Sekitar pukul 11.30 tibalah bapak Sukemi bergegas kami minta tanda tangan,,,Alhamdulilah selesai Langsung saja kami berangkat ke Indralaya make mobil Avanza milik Si ASmet...kami berjumlah 5 orang(Kak Dodi, bang Toyib/misba, Asmet dan Gwe'Cwex)
Dalam perjalanan menuju indralaya kami lumayan cemas2 takutnya tidak terkejar,,eh terpikir "kito ke indralaya takutnya bapak darmo ke palembang" berinisiatif untuk menelpon membuat janji dengan bapak Darmawijoyo,,,Lalu Asmet yang menelpon bapak Darmo(Pangilan untuk Darmawijoyo),,akhirnya kami janjian di salah satu masjid(dekat polres oi arah prabumulih) kayaknya klo kami shalt jum'at bakal tidak terkejar. Jadi orang sedang sholat jum'at kami masih dalam perjalanan...setibanya di masjid tersebut kami langsung mencari mobil bapak Darmo,,,eh diantara kami tdk ada yang tahu giman mobil Bpk Darmo....Cuman agak kenal2 aja mobil yang biasa parkir di unsri bukit plat merah,,stop dan menungu dekat mobil tersebut.....eh eh eh ternyata itu mobilnya bapak SAM salah satu dosen Unsri juga,,kami tanya aja dimana mobil Bapak Darmo ujarnya "Tuh mobilnya disebelah mobil saya" dalam hati kami terkakak-kakak ingin ketawa tapi di tahan....
Kami intip2 pak Darmo di dalam gak ada dan diluar gak ada,,,kami berbagi tugas 2 orang untuk mencari ke dalam masjid dari sudut kiri dan sudut kanan,,,dan tiga orang lagi menjaga di dekat mobilnya...al hasil kelihatan dengan pak Darmonya, yang lagi memasang sepatu dekat tempat mengambbil wudhu,,,,langsung saja kami hampiri dengan rasa hormat kami,,,ALhamdullilah Bapak Darmo dengan senyumnya kepada kami dan ditanda tangganilah persyaratan kami...kami ucapkan Terima Kasih banyak dan maaf udah ngerepoti....kayaknya Bpak nya terburu2 dan bergegas meninggalkan kami....
Bersambung....masih lumayan panjang ceritanya....hahaha
Langkah Mundur Dalam Membangun Guru Sebagai Profesi
Diposting oleh
putra-bungsu
PROLOG
Di olah dari berbagai sumber oleh didie---Sirajuddin (memasarkan isi aj pak)
Pertanyaan yang sering muncul adalah apakah tunjangan sertifikasi, profesi, dan lainya yang menyangkut dirjen PMPTK masih akan jalan terus, dan bagaimana pengelolaan NUPTK di Kabupaten Banyuasin menjadi tanggungjawab siapa! Simak hasil olahan dari berbagai tulisan yang saya ramkum di bawah ini
Tidak lama setelah masuknya Prof. Dr. M. Nuh sebagai orang nomer satu di Kementerian Pendidikan Nasional, berkembang aspirasi untuk melebur Ditjen PMPTK (Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan) yang baru berumur 5 tahun ke dalam direktorat jenderal persekolahan. Tidak sedikit pihak yang telah menduga dan bahkan menginisiasi serta mendukungnya. Namun bagi banyak kalangan hal ini tentu saja mengejutkan dan menimbulkan tanda tanya. Tulisan ini akan mengulas esensi usulan tersebut dari berbagai sudut pandang dengan harapan dapat mendudukkan permasalahannya pada posisi yang sesuai dengan hakekat tantangan pembinaan guru sebagai profesi yang memainkan peran sentral dalam pembangunan sistem pendidikan nasional di negeri tercinta ini.
GAGASAN AWAL
Gagasan peleburan awalnya berangkat dari aspirasi untuk membelah Ditjen Mandikdasmen menjadi 2 (dua) Direktorat Jenderal, Ditjen Pendidikan Dasar dan Ditjen Pendidikan Menengah. Secara substansial gagasan ini dapat diterima. Justru diharapkan dengan adanya pemisahan tersebut akan diperoleh manfaat berupa peningkatan efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan kedua jenjang pendidikan. Di satu pihak Ditjen Manajemen Pendidikan Dasar dapat memfokuskan diri dalam meningkatkan penyelenggaraan Wajar Dikdas (Wajib Belajar Pendidikan Dassar) 9 tahun. Di pihak lain Ditjen Manajamen Pendidikan Menengah akan memiliki kesempatan yang lebih terbuka dan terfasilitasi secara malsimal dalam mengantarkan anak bangsa baik yang akan menjadi ilmiawan dengan memilih jalur pendidikan akademik bagi yang siap, dan menjadi pekerja terampil dan siap pakai bagi yang memilih jalur pendidikan vokasional.
Namun, sayangnya gagasan tersebut dikembangkan dan diperjuangkan dengan mengusulkan penutupan Ditjen PMPTK yang utamanya dilatarbelakangi oleh 3 (tiga) penyebab.
Pertama, sesuai dengan SOTK (Sistem Organisasi dan Tata Kelola) yang diterbitkan oleh Kementerian Negara PAN (Pemberdayaan Aparatur Negara), setiap kementerian (dahulu departemen) dibatasi untuk memiliki tidak lebih dari 5 (lima) unit utama setingkat Eselon 1. Dengan pertimbangan tersebut, penggagas pembelahan Ditjen Mandikdasmen mencari jalan pintas yaitu mengajukan solusi berupa penutupan Ditjen PMPTK agar jumlah unit utama di Kementerian pendidikan Nasional tetap 5 unit sesuai ketentuan.
Kedua, para penggagas mengajukan argument bahwa tenaga kependidikan termasuk guru merupakan satu kesatuan dalam paket manajemen sekolah. Oleh sebab itu, pemisahan pengelolaan guru dan tenaga kependidikan lainnya dari pengelolaan sekolah menjadikan pembinaan sekolah kehilangan roh. Akibatnya, pembukaan sekolah tidak serta merta disertai dengan pengadaan guru dan tenaga kependidikan lainnya secara sinergis.
Ketiga, untuk menjamin kualitas penyelenggaraan pendidikan nasional, pemerintah telah menetapkan 8 (delapan) standar nasional pendidikan dengan satu diantaranya adalah standar tenaga kependidikan. Para penggagas berargumen, bahwa dengan hanya menangani satu dari delapan standar, adalah kurang efisien mempertahankan berdirinya Ditjen PMPTK dibandingkan dengan menggabungkan pengelolaan guru ke dalam ditjen yang menangani persekolahan.
GAGASAN PELEBURAN DITJEN PMPTK: Prematur dan dangkal
Mencermati 3 (tiga) diantara sekian alasan yang diajukan, dapat dinyatakan dengan tegas bahwa usulan pembubaran Ditjen PMPTK terkesan premature, tergesa-gesa, dangkal dan dipaksakan. Bagaimanapun argumen tersebut lebih didasarkan pada 2 (dua) pandangan.
Pertama, anggapan bahwa kinerja Ditjen PMPTK masih rendah sehingga tidak diperlukan keberadaanya dan dapat digantikan dengan unit setingkat eselon 2 pada ditjen persekolahan. Bagaimanapun, banyak bukti empirik bahwa rendahnya kinerja sebuah unit kerja lebih diakibatkan kegagalan membangun koordinasi antar unit di dalam tubuh Kemendiknas sendiri. Jadi bukan kesalahan struktur dan penetapan tugas pokok dan fungsinya. Dengan demikian peleburan bukan merupakan solusi masalah manajemen yang tepat.
Kedua, menyederhanakan peran guru dalam proses pendidikan yang dianggap setara dengan komponen pendidikan lainnya adalah pandangan yang dangkal. Argument yang dibangun hanya didasarkan pada kalkulasi kuantitatif di mana Ditjen PMPTK yang hanya menangani 1 dari 8 standar dinilaikontraproduktif sehingga diusulkanlah pembubabarannya. Bagaimanpun, peran sub-sistem dalam sebuah sistem secara keseluruhan tidak bisa diukur dan dinilai secara kuantitatif seperti itu. Begitu juga dengan peran dan kedudukan guru dalam proses pendidikan. Sebagimana dibuktikan oleh sejarah panjang pendidikan manusia di muka bumi, bahwa pendidikan dapat tetap berjalan dengan optimal jika ada guru sekalipun kurang didukung oleh sarana parasarana, biaya, dan kurikulum. Sebaliknya, jika di kelas tidak hadir seorang guru yang profesional dalam arti kompeten dan berdedikasi prima, kurikulum yang baik dan sarana lengkap serta biaya yang cukup akan menjadi mubajir dan tidak akan menghasilkan tamatan yang berkualitas.
EKSISTENSI DITJEN PMPTK: Tidak sekedar administrasi kepegawaian
Sebagaimana diketahui, pada tahun 2004, ketika memperingati hari guru, Presiden SBY mencanangkan guru sebagai profesi. Pencanangan ini merupakan tonggak sejarah diawalinya upaya nyata dalam menjadikan guru sebagai sebuah masyarakat yang profesional, bermartabat, sejahtera dan terlindungi. Untuk mengawal upaya menuju cita-cita tersebut merupakan alasan utama pemerintah mendirikan Ditjen PMPTK 5 tahun yang lalu. Pemerintah menyadari bahwa untuk mengubah paradigma yang memandang guru sebagai pekerja pendidikan menjadi profesi membutuhkan berbagai program yang kompleks sehingga diperlukan sebuah unit setara eselon 1 sebagai wadahnya. Setidaknya ada 2 (dua) alasan kuat untuk itu.
Pertama, masalah guru bukan sebatas pada urusan administrasi ketenagaan tetapi lebih dari itu mencakup pembinaan sikap profesinal dan peran sentralnya dalam proses pendidikan. Sekaitan dengan ini, kecuali bagi yang tidak memahami tentang proses belajar dan pembelajaran, semua pakar dan pemangku kepentingan sistem pendidikan sepakat bahwa guru merupakan ujung tombak sistem pendidikan karena guru yang menjadi produser, penulis skenario, sutradara dan bersama siswa sekaligus menjadi pemeran dalam proses belajar dan pembelajaran di kelas. Di kelas tidak ada Mendiknas, tidak ada filsuf dan guru besar pendidikan, tidak ada raja atau presiden atau pejabat eksekutif lainnya dan tidak ada pula orang tua siswa. Sejatinya bahwa “Guru lah yang menghidupkan kurikulum dan Guru lah Kurikulum yang hidup.” Oleh sebab itu, eksistensi Ditjen PMPTK tidak sekedar untuk menangani administrasi personalia guru dan tenaga kependidikan lainnya yang dapat dikelola oleh sebuah unit setingkat eselon 2 sekalipun.
Kedua, belum maksimalnya peran asosiasi profesi guru dalam pembinaan profesionalisme anggotanya. Harus diakui, sejarah telah membuktikan bahwa PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia) sebagai organisasi guru terbesar dan tertua di negeri ini dalam taraf tertentu telah mampu mewadahi berbagai aspirasi dan menjadi inisiator sekaligus eksekutor upaya meningkatkan kesejahteraan, penghargaan, dan perlindungan bagi anggotanya. Namun, dalam konteks profesionalisme, PGRI belum secara maksimal terlibat.
Sekaitan dengan itu, model pembinaan profesi yang telah mapan seperti masyarakat dokter harus menjadi rujukan ketika membangun profesi guru. Dalam masyarakat profesi dokter, asosiasi profesi melalui kolegium secara intensif berperan proaktif dalam pembinaan profesionalisme calon dokter dan dokter guna menjamin diberikannya layanan medik yang berkualitas bagi masyarakat. Karena berbagai kendala hal itu belum dapat diperankan oleh asosiasi profesi guru. Sebagai contoh, sertifikasi profesi guru masih dilakukan oleh perguruan tinggi yang seyogyanya dilakukan oleh asosiasi profesi sebagaimana dilakukan dalam masyarakat kedokteran. Begitu juga dalam mengembangkan peningkatan profesionalisme berkelanjutan (CPD atau Continuous Professional Development) yang menjadi keharusan dalam pembinaan profesi, asosiasi guru belum menjadi tuan di rumahnya sendiri sebagaimana asosiasi dokter, pengacara, akuntan dan lain sebagainya. Oleh sebab itu, sambil menunggu asosiasi profesi guru mampu memainkan peran dimaksud, sebagian besar inisiasi dan penyelenggaraan pembinaan dan pengelolaan pelaksanaan tugas profesi guru hingga kini masih memerlukan campur tangan instansi struktural yaitu Kementerian Pendidikan Nasional melalui Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PMPTK).
Dari uraian di atas dapat dinyatakan bahwa eksistensi Ditjen PMPTK tidak sekedar untuk menangani administrasi personalia guru dan tenaga kependidikan lainnya. Tetapi, lebih dari itu memfasilitasi masyarakat guru membangun profesionalisme anggotanya setara dengan profesi lain yang telah mapan dan memiliki kebanggaan profesi. Melihat hakekat tantangannya, masih diperlukan waktu untuk membenahi dunia profesi guru secara komprehensif.
DAMPAK PELEBURAN
Setidaknya ada 3 (tiga) dampak negatif yang paling signifikan nantinya jika Ditjen PMPTk dilebur menjadi salah satu unit di masing-masing Ditjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Ditjen Manajemen Pendidikan Menengah.
Pertama, menurunnya jenjang eselon unit yang mengelola permasalahan profesi guru. Seperti sebelum berdirinya Ditjen PMPTK, unit pembina guru pada jenjang eselon 2 memiliki “bargaining power” yang kurang kuat dalam mengusulkan kebijakan baik ke dalam maupun keluar struktur Meneg Diknas seperti; Kemeneg PAN, PGRI,dan BKN. Kedua, pembinaan guru sebagai profesi akan beralih kembali ke pengelolaan guru yang didominasi oleh nuansa adminsitrasi kepegawaian. Padahal, masih banyak tugas masalah pembangunan profesi guru yang tidak hanya bersifat sitematis tetapi sistemik. Ketiga, dengan pengelolaan dan pembinaan guru diselenggarakan oleh sejumlah unit yang terpisah, akan timbul hambatan koordinasi sehingga memungkinkan adanya sejumlah usulan kebijakan berbeda yang justru kontraproduktif bagi pembinaan guru sebagai profesi yang kini sudah mengarah pada “track” yang benar.
EPILOG
Usulan untuk membelah Ditjen Mandikdasmen menjadi Ditjen Pendidikan Dasar dan Ditjen Pendidikan Menengah tetap diteruskan karena memang menjanjikan konstribusi yang positif terhadap pengelolaan sistem pendidikan dasar dan menengah. Namun, usulan tersebut tidak boleh diajukan dengan menerapkan teori peluang yaitu disertai dengan gagasan peleburan Ditjen PMPTK yang memegang peran strategis dalam upaya meningkatkan kualitas sistem pendidikan nasional secara utuh dan menyeluruh. Oleh sebab itu, jalan tengah yang justru sinergis adalah memadukan usulan pembelahan Ditjen Mandikdasmen sekaligus reformasi Ditjen PMPTK dalam satu paket usulan kebijakan. Jika usulan tersebut diterima, akan diperoleh manfaat lebih signifikan yaitu efektivitas penyelenggaraan sekolah yang ditunjang oleh keberhasilan pembinaan profesionalisme guru sekaligus. Dengan alasan yang kuat dan rasional serta dilandasi oleh azas manfaat, masih dimungkinkan adanya dispensasi untuk memiliki unit utama setingkat eselon satu dalam jumlah yang melebihi ketentuan Kemeneg PAN. Mengapa tidak gagasan akomodatif dan produktif seperti itu yang diupayakan sehingga kita dalam membangun Guru sebagai Insan Profesi yang Profesional tidak berjalan mundur.
Di olah dari berbagai sumber oleh didie---Sirajuddin (memasarkan isi aj pak)
Pertanyaan yang sering muncul adalah apakah tunjangan sertifikasi, profesi, dan lainya yang menyangkut dirjen PMPTK masih akan jalan terus, dan bagaimana pengelolaan NUPTK di Kabupaten Banyuasin menjadi tanggungjawab siapa! Simak hasil olahan dari berbagai tulisan yang saya ramkum di bawah ini
Tidak lama setelah masuknya Prof. Dr. M. Nuh sebagai orang nomer satu di Kementerian Pendidikan Nasional, berkembang aspirasi untuk melebur Ditjen PMPTK (Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan) yang baru berumur 5 tahun ke dalam direktorat jenderal persekolahan. Tidak sedikit pihak yang telah menduga dan bahkan menginisiasi serta mendukungnya. Namun bagi banyak kalangan hal ini tentu saja mengejutkan dan menimbulkan tanda tanya. Tulisan ini akan mengulas esensi usulan tersebut dari berbagai sudut pandang dengan harapan dapat mendudukkan permasalahannya pada posisi yang sesuai dengan hakekat tantangan pembinaan guru sebagai profesi yang memainkan peran sentral dalam pembangunan sistem pendidikan nasional di negeri tercinta ini.
GAGASAN AWAL
Gagasan peleburan awalnya berangkat dari aspirasi untuk membelah Ditjen Mandikdasmen menjadi 2 (dua) Direktorat Jenderal, Ditjen Pendidikan Dasar dan Ditjen Pendidikan Menengah. Secara substansial gagasan ini dapat diterima. Justru diharapkan dengan adanya pemisahan tersebut akan diperoleh manfaat berupa peningkatan efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan kedua jenjang pendidikan. Di satu pihak Ditjen Manajemen Pendidikan Dasar dapat memfokuskan diri dalam meningkatkan penyelenggaraan Wajar Dikdas (Wajib Belajar Pendidikan Dassar) 9 tahun. Di pihak lain Ditjen Manajamen Pendidikan Menengah akan memiliki kesempatan yang lebih terbuka dan terfasilitasi secara malsimal dalam mengantarkan anak bangsa baik yang akan menjadi ilmiawan dengan memilih jalur pendidikan akademik bagi yang siap, dan menjadi pekerja terampil dan siap pakai bagi yang memilih jalur pendidikan vokasional.
Namun, sayangnya gagasan tersebut dikembangkan dan diperjuangkan dengan mengusulkan penutupan Ditjen PMPTK yang utamanya dilatarbelakangi oleh 3 (tiga) penyebab.
Pertama, sesuai dengan SOTK (Sistem Organisasi dan Tata Kelola) yang diterbitkan oleh Kementerian Negara PAN (Pemberdayaan Aparatur Negara), setiap kementerian (dahulu departemen) dibatasi untuk memiliki tidak lebih dari 5 (lima) unit utama setingkat Eselon 1. Dengan pertimbangan tersebut, penggagas pembelahan Ditjen Mandikdasmen mencari jalan pintas yaitu mengajukan solusi berupa penutupan Ditjen PMPTK agar jumlah unit utama di Kementerian pendidikan Nasional tetap 5 unit sesuai ketentuan.
Kedua, para penggagas mengajukan argument bahwa tenaga kependidikan termasuk guru merupakan satu kesatuan dalam paket manajemen sekolah. Oleh sebab itu, pemisahan pengelolaan guru dan tenaga kependidikan lainnya dari pengelolaan sekolah menjadikan pembinaan sekolah kehilangan roh. Akibatnya, pembukaan sekolah tidak serta merta disertai dengan pengadaan guru dan tenaga kependidikan lainnya secara sinergis.
Ketiga, untuk menjamin kualitas penyelenggaraan pendidikan nasional, pemerintah telah menetapkan 8 (delapan) standar nasional pendidikan dengan satu diantaranya adalah standar tenaga kependidikan. Para penggagas berargumen, bahwa dengan hanya menangani satu dari delapan standar, adalah kurang efisien mempertahankan berdirinya Ditjen PMPTK dibandingkan dengan menggabungkan pengelolaan guru ke dalam ditjen yang menangani persekolahan.
GAGASAN PELEBURAN DITJEN PMPTK: Prematur dan dangkal
Mencermati 3 (tiga) diantara sekian alasan yang diajukan, dapat dinyatakan dengan tegas bahwa usulan pembubaran Ditjen PMPTK terkesan premature, tergesa-gesa, dangkal dan dipaksakan. Bagaimanapun argumen tersebut lebih didasarkan pada 2 (dua) pandangan.
Pertama, anggapan bahwa kinerja Ditjen PMPTK masih rendah sehingga tidak diperlukan keberadaanya dan dapat digantikan dengan unit setingkat eselon 2 pada ditjen persekolahan. Bagaimanapun, banyak bukti empirik bahwa rendahnya kinerja sebuah unit kerja lebih diakibatkan kegagalan membangun koordinasi antar unit di dalam tubuh Kemendiknas sendiri. Jadi bukan kesalahan struktur dan penetapan tugas pokok dan fungsinya. Dengan demikian peleburan bukan merupakan solusi masalah manajemen yang tepat.
Kedua, menyederhanakan peran guru dalam proses pendidikan yang dianggap setara dengan komponen pendidikan lainnya adalah pandangan yang dangkal. Argument yang dibangun hanya didasarkan pada kalkulasi kuantitatif di mana Ditjen PMPTK yang hanya menangani 1 dari 8 standar dinilaikontraproduktif sehingga diusulkanlah pembubabarannya. Bagaimanpun, peran sub-sistem dalam sebuah sistem secara keseluruhan tidak bisa diukur dan dinilai secara kuantitatif seperti itu. Begitu juga dengan peran dan kedudukan guru dalam proses pendidikan. Sebagimana dibuktikan oleh sejarah panjang pendidikan manusia di muka bumi, bahwa pendidikan dapat tetap berjalan dengan optimal jika ada guru sekalipun kurang didukung oleh sarana parasarana, biaya, dan kurikulum. Sebaliknya, jika di kelas tidak hadir seorang guru yang profesional dalam arti kompeten dan berdedikasi prima, kurikulum yang baik dan sarana lengkap serta biaya yang cukup akan menjadi mubajir dan tidak akan menghasilkan tamatan yang berkualitas.
EKSISTENSI DITJEN PMPTK: Tidak sekedar administrasi kepegawaian
Sebagaimana diketahui, pada tahun 2004, ketika memperingati hari guru, Presiden SBY mencanangkan guru sebagai profesi. Pencanangan ini merupakan tonggak sejarah diawalinya upaya nyata dalam menjadikan guru sebagai sebuah masyarakat yang profesional, bermartabat, sejahtera dan terlindungi. Untuk mengawal upaya menuju cita-cita tersebut merupakan alasan utama pemerintah mendirikan Ditjen PMPTK 5 tahun yang lalu. Pemerintah menyadari bahwa untuk mengubah paradigma yang memandang guru sebagai pekerja pendidikan menjadi profesi membutuhkan berbagai program yang kompleks sehingga diperlukan sebuah unit setara eselon 1 sebagai wadahnya. Setidaknya ada 2 (dua) alasan kuat untuk itu.
Pertama, masalah guru bukan sebatas pada urusan administrasi ketenagaan tetapi lebih dari itu mencakup pembinaan sikap profesinal dan peran sentralnya dalam proses pendidikan. Sekaitan dengan ini, kecuali bagi yang tidak memahami tentang proses belajar dan pembelajaran, semua pakar dan pemangku kepentingan sistem pendidikan sepakat bahwa guru merupakan ujung tombak sistem pendidikan karena guru yang menjadi produser, penulis skenario, sutradara dan bersama siswa sekaligus menjadi pemeran dalam proses belajar dan pembelajaran di kelas. Di kelas tidak ada Mendiknas, tidak ada filsuf dan guru besar pendidikan, tidak ada raja atau presiden atau pejabat eksekutif lainnya dan tidak ada pula orang tua siswa. Sejatinya bahwa “Guru lah yang menghidupkan kurikulum dan Guru lah Kurikulum yang hidup.” Oleh sebab itu, eksistensi Ditjen PMPTK tidak sekedar untuk menangani administrasi personalia guru dan tenaga kependidikan lainnya yang dapat dikelola oleh sebuah unit setingkat eselon 2 sekalipun.
Kedua, belum maksimalnya peran asosiasi profesi guru dalam pembinaan profesionalisme anggotanya. Harus diakui, sejarah telah membuktikan bahwa PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia) sebagai organisasi guru terbesar dan tertua di negeri ini dalam taraf tertentu telah mampu mewadahi berbagai aspirasi dan menjadi inisiator sekaligus eksekutor upaya meningkatkan kesejahteraan, penghargaan, dan perlindungan bagi anggotanya. Namun, dalam konteks profesionalisme, PGRI belum secara maksimal terlibat.
Sekaitan dengan itu, model pembinaan profesi yang telah mapan seperti masyarakat dokter harus menjadi rujukan ketika membangun profesi guru. Dalam masyarakat profesi dokter, asosiasi profesi melalui kolegium secara intensif berperan proaktif dalam pembinaan profesionalisme calon dokter dan dokter guna menjamin diberikannya layanan medik yang berkualitas bagi masyarakat. Karena berbagai kendala hal itu belum dapat diperankan oleh asosiasi profesi guru. Sebagai contoh, sertifikasi profesi guru masih dilakukan oleh perguruan tinggi yang seyogyanya dilakukan oleh asosiasi profesi sebagaimana dilakukan dalam masyarakat kedokteran. Begitu juga dalam mengembangkan peningkatan profesionalisme berkelanjutan (CPD atau Continuous Professional Development) yang menjadi keharusan dalam pembinaan profesi, asosiasi guru belum menjadi tuan di rumahnya sendiri sebagaimana asosiasi dokter, pengacara, akuntan dan lain sebagainya. Oleh sebab itu, sambil menunggu asosiasi profesi guru mampu memainkan peran dimaksud, sebagian besar inisiasi dan penyelenggaraan pembinaan dan pengelolaan pelaksanaan tugas profesi guru hingga kini masih memerlukan campur tangan instansi struktural yaitu Kementerian Pendidikan Nasional melalui Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PMPTK).
Dari uraian di atas dapat dinyatakan bahwa eksistensi Ditjen PMPTK tidak sekedar untuk menangani administrasi personalia guru dan tenaga kependidikan lainnya. Tetapi, lebih dari itu memfasilitasi masyarakat guru membangun profesionalisme anggotanya setara dengan profesi lain yang telah mapan dan memiliki kebanggaan profesi. Melihat hakekat tantangannya, masih diperlukan waktu untuk membenahi dunia profesi guru secara komprehensif.
DAMPAK PELEBURAN
Setidaknya ada 3 (tiga) dampak negatif yang paling signifikan nantinya jika Ditjen PMPTk dilebur menjadi salah satu unit di masing-masing Ditjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Ditjen Manajemen Pendidikan Menengah.
Pertama, menurunnya jenjang eselon unit yang mengelola permasalahan profesi guru. Seperti sebelum berdirinya Ditjen PMPTK, unit pembina guru pada jenjang eselon 2 memiliki “bargaining power” yang kurang kuat dalam mengusulkan kebijakan baik ke dalam maupun keluar struktur Meneg Diknas seperti; Kemeneg PAN, PGRI,dan BKN. Kedua, pembinaan guru sebagai profesi akan beralih kembali ke pengelolaan guru yang didominasi oleh nuansa adminsitrasi kepegawaian. Padahal, masih banyak tugas masalah pembangunan profesi guru yang tidak hanya bersifat sitematis tetapi sistemik. Ketiga, dengan pengelolaan dan pembinaan guru diselenggarakan oleh sejumlah unit yang terpisah, akan timbul hambatan koordinasi sehingga memungkinkan adanya sejumlah usulan kebijakan berbeda yang justru kontraproduktif bagi pembinaan guru sebagai profesi yang kini sudah mengarah pada “track” yang benar.
EPILOG
Usulan untuk membelah Ditjen Mandikdasmen menjadi Ditjen Pendidikan Dasar dan Ditjen Pendidikan Menengah tetap diteruskan karena memang menjanjikan konstribusi yang positif terhadap pengelolaan sistem pendidikan dasar dan menengah. Namun, usulan tersebut tidak boleh diajukan dengan menerapkan teori peluang yaitu disertai dengan gagasan peleburan Ditjen PMPTK yang memegang peran strategis dalam upaya meningkatkan kualitas sistem pendidikan nasional secara utuh dan menyeluruh. Oleh sebab itu, jalan tengah yang justru sinergis adalah memadukan usulan pembelahan Ditjen Mandikdasmen sekaligus reformasi Ditjen PMPTK dalam satu paket usulan kebijakan. Jika usulan tersebut diterima, akan diperoleh manfaat lebih signifikan yaitu efektivitas penyelenggaraan sekolah yang ditunjang oleh keberhasilan pembinaan profesionalisme guru sekaligus. Dengan alasan yang kuat dan rasional serta dilandasi oleh azas manfaat, masih dimungkinkan adanya dispensasi untuk memiliki unit utama setingkat eselon satu dalam jumlah yang melebihi ketentuan Kemeneg PAN. Mengapa tidak gagasan akomodatif dan produktif seperti itu yang diupayakan sehingga kita dalam membangun Guru sebagai Insan Profesi yang Profesional tidak berjalan mundur.
Langganan:
Postingan (Atom)